Ini Dia Wanita Indonesia Yang Dulu Jadi Budak Seks Tentara Jepang, Mau Liat


Isenk - Pada masa perang Asia-Pasifik (1931-1945) tentara kekaisaran Jepang sangat dikenal sadis dan kejam dalam setiap kali melakukan penyerang terhadap negara-negara yang berusaha didudukinya.

Tak hanya kejam pada tentara atau para pria yang menjadi lawan berperang, tentara Jepang juga dikenal kejam pada para perempuan negara jajahannya.

Pada era peperangan itu, diperkirakan lebih dari 400 ribu perempuan menjadi korban keganasan tentara Jepang. Perempuan yang sudah berusia 13 tahun dipaksa menjadi budak seks pemuas nafsu tentara Jepang.

Konon, tentara Jepang menjadi begitu kejam pada perempuan karena mengalami stres akibat menjalani peperangan yang sangat panjang.

Bahkan, dalam catatan sejarah, tentara-tentara Jepang kerap melakukan pemerkosaan-pemerkosaan massal. 

Namun, karena kebiasan buruk itu jugalah akhirnya keperkasaan tentara Jepang di medan perang menjadi rapuh. Karena, perlahan, jumlah tentara Jepang kian berkurang akibat banyak dari mereka yang terkena wabah penyakit kelamin.

Kekalahan demi kekalahan di medan pertempuran membuat petinggi Jepang berpikir keras. Akhirnya, untuk mengantisipasi agar penyakit kelamin tidak lagi menjadi musuh dalam selimut dalam barisan tentara.

Petinggi negeri matahari terbit itu pun akhirnya membentuk sebuah program prostitusi legal yang diberi istilah Jugun Ianfu atau perempuan pemuas nafsu tentara kekaisaran.

Untuk dapat mengumpulkan perempuan yang bakal dijadikan Jugun Ianfu, petinggi Jepang memerintahkan tentara Jepang, pejabat lokal, bupati, camat dan tokoh penting untuk mencari dan mengumpulkan perempuan dari negara mana pun guna dijadikan Jugun Ianfu. 

Menurut sejarah, hanya dalam waktu tak begitu lama, Jepang sudah mampu menghimpun perempuan-perempuan dalam Jugun Ianfu.

Wartawati Belanda, Hilde Janssen, dan satu orang rekannya berburu mencari para Jugun Ianfu (wanita pekerja paksa seksual zaman penjajahan Jepang) untuk mengungkap sejarah kelam mereka yang tidak mendapat tempat dalam sejarah Indonesia. Bukan hal yang mudah, banyak dari mereka yang tidak mau bercerita karena merasa tabu, malu dan tidak mau mengingat masa lalunya yang kelam.

Namun akhirnya selama dua tahun pemburuan, ia berhasil menemukan dan mewawancarai lima puluh nenek mantan Jugun Ianfu yang dirangkum dalam bukunya berjudul Schaamte en Onshuld: Het Verdrongen Oorlogsverleden van Troostmeisjes in Indonesië (Aib tanpa Dosa: Kisah Wanita Budak Seks Perang di Indonesia).

Buku ini sengaja ditulis hanya dalam bahasa Belanda dan Inggris, karena sejarah mereka yang tidak tertulis di negerinya (Indonesia) memang akan ia bawa ke dunia internasional. 

Tapi, wanita yang biasa disapa Hilde ini mengatakan, akan mengusahakan untuk menerjemahkan bukunya ke dalam bahasa Indonesia. 

Ia adalah Ibu Mardiyem, salah satu korban kebuasan fasisme Jepang terhadap kaum perempuan yang dipaksa melayani nafsu seksual-nya.


Sehari Dipaksa Layani 10 Laki-laki 

Suatu hari di jaman penjajahan di tahun 1942, Mardiyem ditawari main sandiwara oleh seorang Jepang. Waktu itu umurnya baru 13 tahun, ayah dan ibunya sudah meninggal. Kakak yang saat itu tinggal dengannya pun mengizinkan untuk menerima tawaran itu.

Selama tiga tahun Mardiyem dikurung di kamar nomor 11. Siang-malam dia harus melayani birahi tentara Jepang. Waktunya habis dalam kamar “pemerkosaan” itu. Bahkan, untuk makan yang hanya dijatah satu kali sehari pun sering tak sempat.

Bukan hanya kekerasan seksual yang dialami Mardiyem selama tiga tahun itu. Pukulan, tamparan, dan tendangan menjadi makanan sehari-hari. Para tamu ataupun pengelola Ian Jo (tempat kumpul Jugun Ianfu) begitu ringan tangan setiap Mardiyem menolak melayani. Setiap hari Mardiyem harus menjadi Momoye dan dipaksa melayani sedikitnya 5 hingga 10 lelaki.

Kisah masa lalu yang pahit membuat Mbah Mardiyem sempat kehilangan semangat untuk hidup. Penderitaan menyakitkan itu dialami kurang lebih selama 3 tahun.

Ia sempat berkisah saat-saat di mana dia hamil.  Saat itu, bayi yang dikandungnya harus mati sia-sia, karena seorang Jugun Ianfu tidak diperbolehkan hamil. Penyiksaan seperti perlakuan ’sadomasokisme' dilakukan tentara Jepang  dengan menyiksanya, memukul, menampar, membuat bayi yang dikandungnya keluar dari rahimnya dan meninggal. (viva)

Comments