Isenk - Ini semua dimulai pada minggu pagi yang cerah.
Candaan dan tawa menggema menjadi satu dalam benda berbentuk balok ini, tak ketinggalan sedikit perdebatan terselip di antaranya. Yang lain duduk berpasangan, sementara aku sendiri. Tapi, aku tidak merasa kesepian karena mereka berada di sekelilingku. Benda beroda besar yang memuat manusia di dalamnya ini mulai berjalan perlahan. Hal baru muncul, membuatku tak sabar karena temanku untuk kedua kalinya memberi komando kepada pak supir untuk berhenti karena masih ada teman kami yang belum tiba.
Ayolah kawan, aku hanya bisa merutuki mereka dalam hati, karena belum berani untuk ikut berdebat.
Benda pipih yang sedari tadi kupegang berbunyi tak nyaring, aku yang menyadarinya langsung membuka pesan singkat dari temanku yang menunggu di tempat yang berbeda. Sementara aku membaca pesan singkat dari Danang, dua teman yang duduk di depanku sedang sibuk menelepon teman kami yang berada di bus lain.
Ah, ya, tentu dua temanku itu sedang meminta teman laki-laki kami untuk pindah ke bus kami. Dari pembicaraan mereka aku tahu kalau teman laki-laki kami itu tidak mau, dan ia ingin kami saja yang pindah ke sana. Oh, menyebalkan sekali. Sekarang bagiku waktu seperti kabel olor yang singkat, sebentar lagi pukul tujuh dan bila kami sampai tujuan melebihi waktu yang ditentukan itu namanya terlambat.
Setelah membalas pesan singkat Danang yang sedang menunggu di tempat lain, akhirnya kuputuskan untuk ikut ambil suara dalam perdebatan di bus umum ini. Lagi pula dua teman di depanku juga telah usai berdebat lewat sambungan tanpa kabel itu.
"Sudah, ditinggal saja! Dia kan juga sudah berangkat bersama teman yang lain," suara itu bagaikan dukungan untukku. Karena kami memiliki pendapat yang sama. Dan ia adalah Hayyu, aku yakin pendapatnya pasti sangat berpengaruh sekarang.
"Iya, berangkat sekarang saja. Keburu telat nanti," sahutku secepat kilat.
"Ya sudah, berangkat sekarang saja," akhirnya dua teman yang berada di depanku itu menyetujui.
Beberapa menit kemudian bus berangkat, dalam perjalanan kami ditarik biaya setengah dari Rp. 6.000,00. Menurutku itu harga yang sepadan. Bila diingat-ingat sudah berapa tahun ya aku tidak naik bus umum? Terakhir aku naik bus umum saat aku kelas empat SD, sekarang aku sudah kelas sembilan SMP. Lima tahun, lama juga rupanya.
Berhenti dengan mengingat masa kecil, sekarang aku harus menghubungi temanku yang menunggu di gang yang berukuran seperti lubang gajah itu. Teman-temanku yang lain sesekali bertanya kepadaku tentang teman kami yang menanti bus kami. Lama sekali ia membalas pesan singkatku, kuputuskan untuk meneleponnya. Masa bodoh dengan pulsa yang ada, yang terpenting aku dapat menghubunginya sesegera mungkin. Bunyi sambungan telepon terdengar semu di telingaku karena gemuruh mesin bus. Sambungan itu berakhir dengan bunyi seperti kentut, itu berarti ia tidak mengangkat panggilanku.
"Danang tadi nunggu di situ sama Dimas dan Fero. Sekarang sudah nggak ada," suara itu keluar dari mulut teman yang duduk di bangku sampingku, ia menunjuk tempat duduk di depan toko yang masih tutup. Aku kira Danang menunggu di gang lubang gajah.
"Aku telepon nggak diangkat," aku menatap temanku yang tadi menunjuk tempat Danang menunggu. Almy.
"Mungkin sudah berangkat bersama Dimas dan Fero," Lia angkat suara.
Baik, mungkin Danang memang sudah berangkat. Sepanjang jalan aku terus melihat kanan dan kiri, berjaga-jaga bila nanti ada Danang yang berjalan. Ya, ia tadi memberi tahuku kalau ia akan menunggu sambil berjalan.
Kondektur bus menyalakan musik. Musik yang konyol menurutku. Terlalu tidak enak didengar. Jam dinding yang menggantung di depan itu bergoyang-goyang menjadi pusat perhatianku. Aku merasa jam dinding itu menghantuiku, menertawaiku, dan mengejekku, karena waktu sudah hampir pukul tujuh. Sial sekali, bus ini berjalan pelan sekali. Mungkin bus ini berjalan 30 Km/jam. Rasanya aku ingin sekali memegang roda kendalinya saja. Tapi, perlu berpikir dua kali, aku yakin bila aku yang ambil alih, bus ini tidak akan sampai tujuan dengan selamat.
Benda pipih yang berada di atas dengkulku kembali berdering tak nyaring. Dengan cepat aku membuka pesan singkat yang tertera di layar handphone. Ah, Danang. Ia memberitahuku tentang ruang yang akan aku dan teman-teman tempati. Kalau begitu bertanda ia sudah sampai di sana. Bagus, aku tidak perlu menengok ke kanan dan kiri.
Menunggu dan sabar hanya itu yang aku dan teman-teman lakukan. Untuk mengisi kekosongan kami mengobrol tentang jalan menuju tempat yang kami tuju. Aku sampai lupa belum bercerita ke mana kami akan pergi di hari minggu pagi-pagi begini. Kami akan menuju SMK PGRI 3 Walikukun, mencoba memperbanyak ilmu tidak salah bukan? Kami mengikuti tryout uji coba di sana. Lumayan, gratis makanan ringan juga.
Akhirnya kami turun dari bus, lalu menyeberang jalan untuk menuju gang sekecil lubang semut untuk masuk ke dalam sekolah itu. Aku bersyukur karena tidak terlambat. Sekolah itu kecil, tidak seluas sekolahku. Ruang bagian dalam memang lebih bagus, tapi letaknya tidak tertata dengan strategis.
Baik sekarang adalah waktunya untuk berpikir. Mengerjakan 100 soal dalam waktu dua jam. Untung saja aku bisa berpikir lebih cepat dari biasanya. Walaupun ada beberapa nomor yang kujawab asal. Itu adalah teknik jitu yang aku yakin bahwa setiap pelajar mempunyainya. Waktu bergulir layaknya onde-onde yang jatuh dari langit. Selesai sudah tryout. Oh, otakku terasa panas.
Namun, setelah mengerjakan masih ada doorprize. Lumayan menarik, dua buah handphone. Ah, namun aku tidak tertarik. Lama sekali menunggu pembagian doorprize selesai. Beberapa peserta mengeluh untuk pulang, akhirnya yang ingin pulang dibolehkan pulang, sementara yang masih mau menunggu tetap tinggal di tempat.
Alas kaki kami terus bergesekan dengan aspal yang panas. Peluh berderai dari pelipis, sengatan matahari menerpa dengan ganas. Aku dan teman-temanku terus berjalan sambil menunggu bus lewat. Bus memang benda tanpa perasaan, kami berjalan sambil menlihat ke belakang, berjaga-jaga bila ada bus lewat. Sayang sekali tidak ada. Karena kami sudah dekat dengan pasar tempat singgah benda balok besar itu, kami memutuskan berjalan walaupun ada bus lewat. Berhentilah kami pada sebuah toko buah.
Ya, beberapa temanku ingin membeli buah nanas untuk ujian praktik bahasa inggris. Usai membeli nanas, kami berjalan lagi menuju tempat persinggahan bus. Oh, ada satu bus yang sedang menanti penupang rupanya. Kami berjalan sedikit pelan karena sudah lelah. Masih jauh dengan bus, bus itu malah sudah berjalan. Kami memutuskan untuk menunggu bus yang lain.
Aku masih berdiri sambil melihat ke arah jalan raya, perhatianku terarah pada kendaraan-kendaraan yang sedang berhenti di depan pembatas rel kereta api. Hei, tunggu! Busnya juga berhenti.
"Eh, ada kereta. Busnya juga berhenti!" Teriakku pada teman-teman sambil menunjuk ke arah plang pembatas rel kereta api.
"Ayo kejar!" Dhila memandangku sejenak.
Baiklah kakiku terasa seperti kapas sekarang, ringan. Akan sangat sia-sia bila tidak digunakan. Aku berlari dengan cepat, entah dapat tenaga dari mana. Dhila masih berlari di depanku. Pandanganku tertuju pada tas punggung yang ia kenakan. Berlari dan terus berlari. Hampir menabrak sepeda motor parkir dan menabrak orang. Masa bodoh dengan umpatan orang yang kutabrak. Aku melambai-lambaikan tangan, mungkin kondektur bus melihatnya.
"Pak, berhenti, pak!" Teriakku dan Dhila bersamaan.
Ya, mungkin ini konyol. Tapi, ini adalah hal yang baik untuk sekarang menurutku. Walau harus ditatap oleh berpasang-pasang mata dengan tatapan yang aneh.
Percuma, bus itu telah berjalan seiring dengan naiknya pembatas rel kereta api. Aku dan Dhila tidak berhasil. Kulihat ke belakang, teman-temanku berusaha menyusul kami. Sekarang aku ngos-ngosan. Napas memburu, kaki terasa mau copot, punggung terasa panas karena keringat yang menguap-uap, semua itu berbaur menjadi satu dalam diri kami masing-masing.
Menanti bus sambil beristirahat adalah hal satu-satunya yang baik sekarang. Teman-temanku yang lain duduk di bawah sebuah gubuk kecil, sementara aku dan Dhila masih berdiri di tepi jalan untuk menanti bus. Tak lama dari penantian kami sebuah bus berhenti di tempat bus yang tadi kami kejar.
"Ah, kalau bertemu lagi sama supir bus tadi, aku gorok dia," Dhila tampaknya sebal dengan supir bus tadi.
"Haha, kalau aku mah akan kupenggal, keke," candaku sambil tertawa.
"Haha, eh, itu busnya jalan," ia menunjuk bus yang jalan seperti keong.
"Woi, bus. Ayo!" Kodeku pada teman-temanku yang duduk tak jauh dari kami.
Kami pulang menumpangi bus umum lagi. Tak sampai di sini saja, nanti setelah sampai di Ngrambe kami juga akan mampir ke warung Mie Ayam dan Bakso Cilacap. Tempat itu adalah milik orangtua temanku. Tentu setelah berpikir dan berlari-lari membuat kami lapar.
Yah, ini adalah pengalaman yang sangat seru dan melelahkan. Sampai jumpa lagi di pengalamanku yang lain.
By: Endah Nisrinasari