Kursi di Sudut Ruangan Itu


Isenk - "Maaf Nad, kamu nggak usah peduli lagi padaku. Kamu konsen aja dulu sama kuliahmu saat ini. Nggak usah mikirin aku. Hubungan kita cukup sampai disini aja. Maaf."

Bagai disambar halilintar, jatuh dalam jurang tak bertepi, yang kemudian menabrak gundukan ngarai. Pesan singkat dari Dio mampu membuat hatiku luluh-lantak hingga menyisakan rasa nyeri dalam deretan tulang rusukku yang berjajar rapi hingga detik ini. Butiran air bergulir menuruni pipiku, mata ini tak sanggup membendungnya lagi.

"Kenapa dia menjadi sosok yang pengecut? Tiga hari tanpa kabar dan sekarang dia kembali dengan menancapkan bongkahan duri dalam hatiku," pikirku. Aku yang masih terpuruk, tak bisa berpikir dengan jernih dan frustasi, segera menyambar motorku yang berada di beranda rumahku.

"Nadia, mau kemana kamu nak?" Teriak ibuku dengan nada yang begitu khawatir. Tapi aku tak mempedulikannya. Hal yang ada dalam pikiranku hanya satu dan itu menemuinya dengan segera, ya sesegera mungkin, sesegera yang aku mampu.

Dalam perjalananku yang dipenuhi oleh perasaan resah gelisah yang mendera jiwa. Ragaku hidup tapi jiwaku mati, ya perasaan itulah yang sedang aku rasakan saat ini. Aku mengabaikan segala kemungkinan buruk yang akan terjadi akibat cara mengendarai motorku saat ini. Tujuanku hanyalah menemuinya dan meminta kepastian serta penjelasan dari Dio. Hatiku berteriak bahwa Dio pasti bercanda meminta ini. Dio sangat menyayangiku, nggak mungkin dia memutuskan aku.

"Kenapa Nad, kamu melakukan hal bodoh dengan menemuiku? Kamu tahu? Ibumu merasa sangat khawatir karena tindakan bodohmu ini. Pergi tanpa pamit, apa kamu nggak berpikir tentang keselamatanmu sendiri Nad?" Dio yang pendiam memulai percakapan dengan banyak kata-kata ketika aku sampai di rumahnya. Ah, tepatnya saat aku berada tepat di hadapannya.

"Bukan ceramah itu tujuanku datang ke sini Dio, katakan bahwa apa yang kamu katakan di SMS tadi adalah bohong dan kamu hanya bercanda waktu kamu bilang ingin mengakhiri hubungan kita."
Suaraku tercekat dan terdengar sangat parau. Mungkin karena rasa nyeri dalam deretan tulang rusukku ini.

"Maaf Nad, aku serius dengan pernyataanku tadi. Kita harus mengakhiri hubungan kita."

"Tapi apa alasannya? Katakan sejujurnya Dio, jelaskan padaku. Apa kamu udah nggak sayang sama aku? Atau udah ada penggantiku dalam hatimu sekarang ini?"

"Aku nggak bisa membahagiakanmu Nad, aku nggak bisa menepati janjiku untuk membuatmu bahagia. Maaf Nad." Kini Dio yang terdengar tercekat dan sangat parau. Tapi matanya masih membiaskan binar yang tak terbaca. Ada rundung luka dalam tiap kata yang terucap di bibirnya.
Tatapan mata nanar yang begitu menyedihkan itu kini menikamku. Aku turut merasakan luka yang sangat dalam. Begitu dalamnya hingga membuatku sangat sulit bernapas. Mata sayup dan tatapan yang begitu teduh, yang dahulu mampu meluluhkan hatiku, bahkan hingga detik ini. Kini berubah dan tak kulihat dalam matanya.

"Bahagia apa? Aku merasa bahagia asal itu bersamamu Dio." Nadaku begitu memohon padanya.
Entah sejak kapan aku begitu menggantungkan asaku padanya. Entah kapan tepatnya aku memberikan seluruh cinta ini untuknya tanpa menyisakannya bahkan untukku sendiri. Tangis ini sudah tak mampu ku bendung lagi, aku kini terlihat sangat menyedihkan bahkan di depan orang yang begitu aku sayangi.

"Nggak Nad, mengertilah kita nggak seharusnya bersama. Sudah cukup Nad dan maaf aku tak bisa memegang tanggung jawabku sebagai cowok kamu. Mungkin lebih baik kita berteman seperti dulu. Seperti saat kita belum jadian."

Kata-kata Dio barusan, semakin membuatku sangat kecewa, mengapa dia tak berusaha mempertahankan hubungan kita? Selandai itukah cintanya padaku? Aku mulai meragukannya.

"Oke kalau emang itu maumu Dio. Maaf sudah mengganggu waktumu. Terima kasih untuk kenangan manis yang kau torehkan selama ini, makasih juga untuk luka yang telah kau goreskan ini."

Sekali lagi air matakku yang tak dapat aku bendung lagi itu mengalir begitu saja. Kurasa nggak perlu lagi aku berusaha memohon pada orang yang terlihat sama sekali nggak ingin mempertahankan hubungan ini. Sia-sia! Ya, hanya kata itu yang mampu aku luncurkan dalam hati.

"Carilah cowok yang benar-benar menyayangimu Nad, yang benar-benar dapat dipercaya dan memegang tanggung jawabnya terhadap janjinya."

"Tidak akan bisa semudah itu, Dio." Jawabku cepat sambil bangkit dari tempatku duduk.

Aku benar-benar merasakan kehancuran yang begitu menghujam, merajam serta mengiris seluruh ruang dalam hatiku. Saat aku bangkit dan mulai beranjak keluar dari rumahnya, Dio menarik lenganku. Oh Tuhan, apakah Dio menyesal memutuskan hubungan ini? Apakah dia ingin semuanya seperti dulu lagi? Apakah dia masih ingin menggoreskan lebih banyak lagi cerita-cerita indah dalam perjalanan hidup kita? Ada rasa harap yang mungkin terlalu berlebihan yang kini sedang aku rasakan.

"Tunggu Nadia, biar aku antar kamu pulang. Aku nggak mungkin membiarkanmu mengendarai motor dengan keadaan seperti ini."

Jadi? Dia menarik lenganku hanya untuk mengatakan itu? Desir kekecewaan merayap dalam tiap inchi ruang hatiku, membuat dada ini terasa semakin sesak. Aku butuh udara segar yang bahkan aku sudah lupa rasanya bernapas dan menghirup udara segar. Patah hati ini semakin membuatku terlihat sangat menyedihkan.

"Nggak perlu Dio, aku bisa pulang sendiri. Kamu nggak perlu khawatir aku pastikan aku nggak akan melakukan hal yang aneh. Terimakasih dan maaf." Ku lepaskan tangannya dari lenganku, tanpa menatapnya. Karena aku sangat tahu, menatapnya hanya akan membuatku semakin terlihat menyedihkan di matanya. Dan aku nggak ingin hal itu terjadi.

Dengan perasaan yang bahkan aku sendiri tak bisa mendeskripsikannya, antara sedih, sakit hati, dendam, kecewa dan cinta yang begitu dalam. Kutelusuri jalanan tanpa ada niat sedikitpun untuk pulang ke rumah. Terus ku jelajahi jalanan kotaku yang masih penuh sesak oleh lalu-lalang kendaraan. Tepat di depan sebuah cafe jus, dengan dekorasi warna serba hijau pada dindingnya aku pun berhenti dan mematikan mesin motorku.

Kulihat dengan tatapan nanar inchi demi inchi bangunan itu, terlihat dua muda-mudi yang sedang becanda tawa ria di suatu sudut ruangan yang arsitekturnya mirip bangunan gubuk tradisional jawa itu. Terlihat begitu bahagia, aku pun tersenyum. Bukan senyum kebahagiaan tapi sebuah senyuman lara.

Samar-samar dan terus ku tatap muda-mudi itu, sepertinya sosok itu tak asing bagiku. Aku berpikir dengan keras, bahkan mungkin terlalu keras. Bahkan patah hati ini mampu menghilangkan kesadaranku dan caraku untuk berpikir secara jernih. Belum sempat aku menemukan jawaban yang sedang ku cari. Sepasang muda-mudi itu pun lenyap tanpa jejak. Ya, tempat favorit kita –Aku dan Dio– dan itu dulu. Air mataku sekali lagi tak mampu kubendung. Tangisku pecah.

Ku nikmati hamparan langit yang kini mulai berwarna jingga karena mentari mulai beringsut di sisi arah barat. Tak sedikitpun niat 'tuk kembali ke rumah. Perasaan duka lara ini masih menjalar bagai rumput liar. Mungkin aku sudah gila, ah bukan! Bahkan mungkin amat sangat gila. Menelusuri jalanan kota kecilku dengan membawa duka lara serta asa yang telah sirna. Terus ku telusuri seluruh jalanan kotaku yang hiruk-pikuk oleh berbagai lalu-lalang benda bermesin.

Sedang menuju kemana kau Nadia? Menelusuri jalanan yang pernah ku lalui bersamanya. Kebodohan apa yang sedang kau lakukan ini Nadia? Ingin mencari sisa-sisa kenanganku bersamanya. Lalu, Apa tujuanmu melakukan hal bodoh ini? Ingin terlihat semakin menyedihkan di matanya? Sadar Nadia. Nalar dan hatiku rupanya sedang beperang untuk memenangkan logikaku.

Sekali lagi, ini adalah kesalahanku. Kesalahanku yang menyerahkan seluruh hatiku untuknya tanpa menyisakan sekepingpun bahkan untukku sendiri. Hingga saat dia meninggalkan diriku tanpa sebuah alasan pun, aku masih tak sanggup membencinya.

Minggu-minggu kelam yang aku lalui tanpa Dio.

"Nadia, ayo makan. Udah beberapa hari ini kamu nggak mau makan nasi nak. Sudahlah, jangan terlalu memikirnya terlalu dalam." Ibuku terus berusaha membujukku agar aku mau makan.

Patah hati ini sungguh sukses menggerogoti nafsu makanku. Aku yang kini duduk terpuruk di sebuah kursi di ruang tamu tengah memandangi sebuah kursi yang terletak di sudut ruangan itu. Ya, di situlah ia biasa duduk. Entah kenapa ia selalu memilih duduk pada kursi di sudut ruangan itu jika berkunjung ke rumahku.

Meringkuk dalam beban kesedihan tlah menjadi rutinitasku kini. Aku tak tahu sampai kapan ini kan terjadi padaku. Hingga pada suatu ketika, aku bosan dengan keadaan ini. Meringkuk dalan kesedihan hanya akan membuatku semakin terjebak dalam rindu yang menggebu. Ku buka laptopku dan ku sambungkan dengan jaringan internet. Aku menghibur diri dengan browsing internet. Aku pun memutuskan untuk log in pada situs jejaring sosial.

Aku tak mengerti, apa yang menggerakkan naluriku untuk melihat akun facebook milik Dio. Dan hal begitu mengagetkanku adalah saat ku lihat perubahan status hubungannya dengan akun facebook milik seorang cewek. Ku buka profil cewek itu, terlihat sebuah foto profil yang terpampang di situ adalah foto Dio dengan seorang cewek, mungkin itu dia. Dan ku lihat foto itu diupload ketika Dio masih jadian bersamaku. Hatiku remuk hancur menjadi pecahan-pecahan debu. Bahkan aku tak punya satu pun foto bersamanya. Inikah jawaban dari segala risauku selama ini? jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tak pernah terjawab.

Buliran bening di pelupuk mataku tak sanggup aku bendung lagi. Mengalir begitu deras diiringi jerit kesedihan yang tak pernah terlontarkan. Ku raih handphoneku yang tergeletak di sampingku sedari tadi. Ternyata alasanmu meninggalkanku adalah ada orang lain. kenapa kamu nggak jujur dari awal? ku kirim pesan itu pada Dio dengan hati yang telah hancur tentu saja.

Ku tunggu, namun tak juga ada balasan darinya. Aku tak mengharapkan balasan darinya lagi. Semuanya telah jelas sekarang. Aku hanya berharap semoga dia bahagia bersama orang yang telah menjadi pilihannya dan semoga juga dia nggak akan pernah merasakan rasa pedih yang kini aku rasakan. Bahkan hingga detik ini pun aku tak pernah sanggup untuk membencinya.

By: Laila

Comments