Isenk - Dear Bams,

Aku begitu ingin menulis surat ini, dengan harapan kamu bisa mengerti isi hatiku dan perasaanku. Walau sekarang sepertinya sudah terlambat. Tapi aku yakin, kamu pasti akan membacanya dan mengerti.

Bams. Kamu tahu gak, kamu tuh pacar aku yang kelima. Dan kamulah pacar aku yang paling aku sayangi. Berawal dari kepindahanku ke Jakarta yang urban dari Surabaya. Aku yang ndeso baru pertama kali menginjak kampus biru kita. Dan kamu adalah pria pertama yang mendatangiku mengajak kenalan sementara yang lain hanya bersiul-siul menggoda aku.

"Namaku Bambang Suwitnyo, panggil aja Bams!" katamu waktu itu memperkenalkan diri.

"Aryanti!" balasku menyambut uluran tanganmu.

Senyummu pas. Gak lebay apalagi berlebihan. Dan aku merasa nyaman berteman denganmu. Entah daya pikat apa aku tak tahu, yang pasti aku suka pembawaanmu yang santai dan apa adanya.

Bams, Akhirnya setelah pertemanan kita yang sudah 2 bulan, kamu nembak aku. Masih ingat? Kamu bilang diterima atau nggak, pertemanan kita gak boleh berubah. Oke, tanpa menunggu waktu lama dan gak ingin juga kugantung, Aku terima cintamu.

Kamu tetap nyantai dan ekspresimu gak lebay. Cuma ucapan "makasih ya udah mau jadi soulmate aku!"

So, okey! Kita pun jalan. Alhasil tambah seru karena ada bumbu percintaan. Gak terasa hubungan kita telah empat bulan berjalan. Mungkin karena kita emang cocok banget, atau karena kamu yang pengertian banget, aku ngerasa waktu bersamamu gak kerasa.

Tahu gak Bams, kamu tuh pacar aku yang the best deh pokoknya! Hehehe, rada alay yah! Tapi Bams, kenapa tiba-tiba kamu mengucapkan kalimat yang gak pernah aku duga. Tanpa sebab dan alasan kamu bilang "Yan, sorry! Hubungan kita sampe sini aja, aku gak bisa ngelanjutin lagi."

And so? What happend? I dont know.

Bams. Aku gak pernah kepingin menanyakan kenapa sama kamu. Bagiku cukup sudah, jelas kata-katamu. End. Bukan pending or rehat. Aku pikir, perasaanmu gak seperti perasaanku. Gunung tinggi bisa didaki, lautan luas bisa diseberangi, tapi hati orang siapa tahu. Aku salah menilai senyumanmu yang terlihat bahagia. Ternyata cuma aku yang memiliki itu, kamu tidak.

Kamu tahu Bams, Sejak itu aku berubah total. Malas makan sampai malas mandi. Bahkan aku kadang malas kuliah kalau gak ingat pengorbanan orangtuaku yang sudah bersusah payah mencari uang demi sekolah anak tercintanya. Huh, untungnya sejak kamu memutuskan aku, kita gak pernah ketemu muka di kampus. Entah kamu menghindar atau memang kita ditakdirkan tidak bertemu. Yang jelas aku gak pernah melihat batang hidungmu di kampus ini.

Aku benci kamu Bams. Aku belum pernah diputusin pacar, mutusin iya. Mungkin karma, aku harus terima. Tapi aku gak percaya, cowok sebaik kamu yang mengatakan itu padaku. Oh no!

Tiga bulan menghilang, tiba-tiba lagi kamu datang. Tepat di depanku dengan senyum tak berubah. Cuma rambut ikalmu yang dulu ikal sedikit gondrong kini berubah cepat dan klimis. Edan!

"Aryanti, kita tetep temenan kan?"

"Najis tralala deh gue temenan ama lo!"

"Ai ai najis sekarang nambah satu ya?"

Huh, kamu bener-bener muka tembok, otak udang, kepala batu. Sebegitu kasarnya kata-kataku, kamu tetap gak marah apalagi berhenti ngintilin aku. Sehari dua hari, bahkan berhari-hari kamu tetap ngikutin aku selama di kampus. Kecuali jam pelajaran. Jujur aku seneng, Bams! Tapi aku jaga gengsi dong. Enak aja kamu mainin perasaanku begitu aja! Ada satu kata yang sangat aku tunggu. Balikan, yuk? tapi mana? Sampai akhirnya kamu gak pernah ngucapin itu.

Sampai akhirnya kampus ramai oleh kabar kamu pingsan dengan hidung dan telinga bercucuran darah. Aku masih tetap gengsi gak bergeming walau hanya sekedar melongok kamu di ruang UK Kampus. Sorry! Bukan urusanku, aku bukan perawat dan bukan teman dekatmu.

Sehari, dua hari, kamu gak ada di kampus. Temanmu bilang, kamu sekarang ada di IGD RS Husada. Jantungku seolah berhenti berdenyut. Kenapa Bams? Kenapa akhirnya baru sekarang aku tahu, kamu menderita kanker otak stadium akhir dan diprediksi gak kan bisa lama bertahan hidup? Kenapa Bams? Kenapa kamu memutuskan hubungan kita hanya karena penyakit itu? Dan bukannya memutuskan tuk cerita sama aku hingga kita bersama-sama mencari jalan keluarnya, Bams?

"Maaf, Aryanti! Aku mengecewakanmu!" Itulah kata terakhirmu buat aku Bams.

Oh Tuhan! Maafkan aku yang gak peka selama ini. Andai aku mencari tahu alasan kamu memutuskan aku. Tapi terlambat!

Kini aku hanya bisa berdoa buatmu Bams, semoga kamu bahagia dan tenang di alam sana. Aku pun pasti akan menyusulmu, walau tak tahu entah kapan.

Selamat jalan, mantan pacar.

By: Fitriah

Comments